Istilah
Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti
mengetahui
atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan
pengamalan
Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal
Allah
ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.
Kemudian
istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf;
antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
yang
mengatakan:
"Marifat
adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud
yang
wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat
Abuth
Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
"Ma'rifat
adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam
keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
c.
Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad
bin
Abdillah yang mengatakan:
"Ma'rifat
membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu
pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang
meningkat
ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
marifat
arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan
tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat
menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu,
setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat
menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA
Marifat
menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT
Marifat
menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa
segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat,
mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan
sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi
semuanya dan segala sesuatu adalah Billah
Makrifat,
sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak
didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional,
tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan
sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak
dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori
pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia
gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan
kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia.
Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup
partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan
kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.
Makrifat,
menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang
dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak
didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi
semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan
sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy. Teori pengetahuan ala sufi ini
dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan
nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan
ruhani.
Makrifat
merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu
”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan
apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin.
Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan
sebagai berikut:
ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya
ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu
terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan
juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk
itu”.
Secara
definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:
الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya
rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi
segala yang ada”.
Dari
definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf
al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga
mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua
makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai
tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya
yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya
peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang
dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah
dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat
dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan,
bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap
hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya,
al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap
ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang
kepada wajah Allah ta’ala).
Perlu
disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap
Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia
itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas
(infinite).
Makrifat
dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat
indera atau akal, melainkan lewat nur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu.
Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk
kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat
membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan
kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.
Makrifat
sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada
orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi
yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi
antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah
dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan
duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara
simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara
tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.
Selain
itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap
hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali)
dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT.
berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum
taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahmd, adalah tindakan bid’ah
yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak
mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang
berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan
berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib
menolaknya. Menurut Ab al-A’la al-Mauddiy, antara syariah dan tasawuf
terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur
aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan
ibadah kepada Allah SWT.
Salah
satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara
memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar
keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa
sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada
kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara
membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak
tercela lainnya.
Adapun
Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala.
Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi
Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah
ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh
Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan)
kepadaku.
Ma'rifat
hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang
yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang
hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka
sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan
tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak
terbakar.
Tanda
adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak
dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang
dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah
menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa
digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah
sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya
Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika
Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau
menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat
?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat
tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga
ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?",
ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat".
Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia
(Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far
Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya,
tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat
diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam
pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam
ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat,
sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.
Adapun
sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a.
Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber
ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak
dalam yang lain.
b.
Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber
ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia
bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal
sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an
sebagai utama.
c.
Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah
cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan
utama bagi ajaran Islam.
d.
Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang
dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan
sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang
terbesar setelah wahyu.
Tingkatan
ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang.
Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman
seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a.
Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman
taqlid yang murni.
b.
Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang
mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan
istidlal.
c.
Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan
dengan 'ainul yaqin. (41)
Berkaitan
dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam
al-Hikam menulis:
“Apabila
Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang
masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri
yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui
bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal
(yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah
fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang
didatangkan Allah atas anda ?”
Salah
satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap
penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba
dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti
ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri,
sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang
yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi
membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.
Orang
yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan
melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan
Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri
yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak
ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada
jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia
memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan
kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat)
merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih
jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan
atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar
kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini
seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah
SWT.
Ada
orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak
terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada
pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya
kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah
dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah
sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu
gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi
ragu-ragu.
Dalam
perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu,
lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain
Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat
menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu
atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf
“Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat
melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat &
Mistisisme dalam Islam.
Lewat
hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu
(Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat
dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika
itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.
Kondisi
Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan
cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya
Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun
hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi
dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah
anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung
dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima
Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang
ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat
mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan
melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di
samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.
Sufi
pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN
al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang
artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya
dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya.
Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan
Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa
untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu
Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah
Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun
besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut
masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada
saudagar tersebut.
Dalam
pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh
dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan
Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan
Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M –
247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara,
saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah
dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.
Dzunun
Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby
(hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi
bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya.
Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b.
Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang
bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf,
belum tentu benar.
c.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena
hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari
sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya
sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.,
sehingga
Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat
yang
dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin
padanya,
karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu
rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat
ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:
a.
Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya,
pasti
ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi
dirinya
dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya.
Maka
tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT
saja.
b.
Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan
ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai
warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul)
dalam
Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu
dikatakannya
lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan
tertimpa
musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus
meskipun
hanya sekejap mata saja.
c.
Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah
keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika
Shufi
bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa
kepada
kelupaan dirinya.
Keempat
tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat,
Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh
secara
terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan
Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan
tiak pula mengalami kesesatan.
Menurut
Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at
Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai
pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh
jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha
dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati
sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana
Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama
araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak
karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun
ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.
Zunnun
mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya
sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi
dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal,
tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian
Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
Selanjutnya
ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun
membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
Tingkat
awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat
Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan
logika dan penalaran akal.
Tingkat
Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat
yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada
tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan
antara ilmu dan Ma’rifat.
Ciri-ciri
orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah
Cahaya
Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
Tidak
meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan
Zahirnya.
Banyaknya
nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar
aturan Tuhan.
Dijelaskan
bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut
serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan
sifat-sifat Tuhan.
Namun
demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat
dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh
mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari
pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi
dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi
tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam
yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan
waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun
di satu maqam.
Dalam
pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin
banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang
rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi
sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas.
Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang
keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung
semua air laut”.
Paham
Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan
Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan
Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at.
Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W.
261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang
dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal
dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”
Ma’rifat
menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang
memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas
berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang
sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah
“menghangatkan diri dengan api”.
Menurut
bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya.
Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang
apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang
tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu
adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut
ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat
adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal,
Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu
pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan
ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha
Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat
Keparipurnaan lainnya.
Kalau
ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika
anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ;
Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk
[dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].
Lalu,
apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah
swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah
ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu
dalam musyahadah kepada-Ku. “
Kalau
ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang
hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat)
dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang
hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan
sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan
Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada
Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak
terbakar.
Sang
Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya
Aku tampak tanpa hijab
Pastilah
seluruh makhluk sempurna
Namun
hijab itu amat halus
Agar
merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah,
bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan
keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan
(al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah
melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan
keesaan (tauhid).
Sebagian
ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia,
selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya.
Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari
sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat
sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang.
Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari
kalbu.”
Ada
pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di
dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali
ma’rifat.”
Sebagian
Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya
dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari
kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah
mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam,
namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari
siang tenggelam di waktu senja
matahari
kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa
yang mencintai Sang Kekasih
`Kan
terbang sayap rindunya
menemui
Kekasihnya.
Dzun
Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas
rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan
lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi
orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan
Cahaya
I1ahi dengan rahasia di atas rahasia
Yang
terdapat dalam berbagai hijab
Tu1i
dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu
dari berucap dalam klaim-klaim dusta.
Sebagian
di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah
mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak
menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian
Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq
tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti
ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin,
apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?”
“Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan
mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.
Ja’far
ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku
tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana
anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far
menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin
(al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui
penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”
Sebagian
`arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr
(rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari,
tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari
sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat
kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa
Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan
hanya kepada Diri-Nya saja.”
Bashirah,
Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah,
Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim.
Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran
makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan
cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada
bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata,
sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat
dikenali.
Di
dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt.
berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s.
al-An’am:122).
Sedangkan
al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah
bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi
masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut
dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan
(acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu
aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh
syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi
jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”
Ilham
adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya,
tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari
segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.
Sementara
firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan
hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam)
hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi
dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun
firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun
khusus
Abu
Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab,
“Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah
langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal
sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”
Sementara
itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang
arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa
saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”
Ahmad
bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan
ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui)
Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada
makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab
tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan
makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah
telah berfirman:
“Sedangkan
ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s.
Thaha: 110).
Syekh
Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna
ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat
(mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar
kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu
dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak
akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya
akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan
Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah
satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh
karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya,
dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan
dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah
swt. berfirman:
“Dan
mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan
dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah
berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali
dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”
Asy-Syibli
– rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat
kesaksian al-Haq?”
Ia
menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam
yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa
awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia
menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia
melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada
dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah
berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta
(al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”
Abu
Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat
orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna
tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat
yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda
tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya
berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang
berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara
itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan
menguasainya.”
Syekh
Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah
Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat
dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang
ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli
air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih
atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang
sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika
“bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai
kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam
satu makna.
Al-junaid
– rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif
(al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat
yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”
Sebagian
dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah
kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang
diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”
Al-Junaid
– rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan
al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia
menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya
pada mereka.”
Muhammad
bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka
tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa
membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka
peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat
Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”
Muhammad
bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia
menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan
bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan
menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”
Yahya
bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab,
“Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam
kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab,
“Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah
dengan mereka.”
Abu
al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami
dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia
menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa
batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang
tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa
membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi
itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang
menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang
awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan
Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang
terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”
Kemudian
ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah
(Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana
Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal.
Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan
suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan
melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui
penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab
penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah).
Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama
sekali tidak ada kerendahan.”
Saya
(Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya
secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan
hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.
Syekh
Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa
yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan
dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap
apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang
telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu
yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang
jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi
makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan
senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari
Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad
bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat.
Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi
yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap
jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada
nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi
baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan).
Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana
keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada
mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar
tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana
tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan
kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning,
baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal
(yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”
Saya
katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati
dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani –
rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang
hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia
ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang
berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula,
karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang
yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”
Sedangkan
makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan
menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia
berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala
sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap
(Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna
semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana
Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab:
Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah
kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga
lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini
adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka
beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash.
Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu
Umar).
Ketika
Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite
Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga
tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang
menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya
bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian
juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan
hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti
awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang
disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang
selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka
(makhluk).”